Bu, aku merasa belakangan ini kita jarang bertemu. Runtinitas perkuliahan benar-benar menyita waktuku. Selalu pulang ke rumah larut malam, di saat kau telah terlelap.
Hingga di pagi harinya kau bertanya, " Semalam darimana saja ? ". Aku tahu ada kerinduan dan kecemasan ditanyamu.
Bu, aku pulang larut bukan untuk menghabisakan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna dengan teman-temanku. Percayalah, aku sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah.
Bu, aku tidak mengerti mengapa kita selalu tak sepaham. Entah kecemasanmu yang salah ku artikan atau perbuatanku yang salah kau artikan.
Bu, tidak semua yang kau pikir benar, itu benar. Karena setiap orang punya pemikiran yang beda. Meskipun aku anakmu, tidak semerta-merta darah yang sama membuat pemikiran kita sama.
Bu, aku bukan lagi anak kecil yang harus dituntun saat ingin berjalan. Aku sudah bisa jalan sendiri, kau hanya perlu mengawasi dan melihatku, tak perlu susah payah menuntunku.
Bu, tegur aku saat aku salah jalan dan tunjukkan jalan yang benar. Tanpa perlu menuntunku kesana, bair aku sendiri yang berjalan kesana.
Bu, aku hanya bisa menjadi pendosa, sementara kau terus menjadi pendoa. Aku sibuk dengan ke-akuan-ku, sementara kau sibuk merindukanku dan menungguku.
Bu, kau adalah rumah. Tempat yang paling indah. Sejauh apapun kita, hatiku tetap disebelahmu.
Bu, apa artinya pergi jika kau tak menjadi tempatku pulang? Apa artinya sakit jika kau tak menjadi malaikat penyembuh? Dan apa artinya aku jika tak mampu lagi membuatmu tersenyum?
Bu, kau selalu membanggankanku, sementara aku belum bisa membuatmu bangga. Kau selalu membahagiahkanku, sementara aku belum bisa membuatmu bahagia. Tapi aku janji.
Bu, maaf untuk segalanya. Selamat hari ibu, berbahagiahlah agar aku dapat melihat senyummu setiap aku pulang kerumah.
Bu, aku menyayangimu.
Tertanda anakmu, Eko Wardana Saputra.
#jurnal366 kawan fiersabesarimks